Ilustrasi. mnn.com
Jakarta - Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Maura Linda Sitanggang mengatakan tak mungkin melakukan sertifikasi halal pada obat-obatan. Formulasi sebuah obat begitu komplek. "Kementerian juga belum siap untuk melihat apakah ada unsur halal atau haram pada sebuah obat," kata Maura di kantor Kementerian Kesehatan, Jumat, 6 Desember 2013.
Jika ada penemuan obat, yang pertama kali dilihat adalah apakah formulasinya lulus tes khasiat keamanan dan mutu. "Itu yang utama." Penelitian obat sendiri, kata dia, bisa hingga 20 tahun. Jika harus menghilangkan salah satu unsur di kemudian hari, tenaga farmasi akan menemukan kesulitan. "Apalagi bicara soal biologi dan karakteristik unsur obat, ini tak singkat," kata Maura.
Tenaga ahli, kata dia, bisa saja memilih komponen halal sejak awal pembuatan obat. "Tapi kami akan mengalami kesulitan jika mencari sesuatu yang tak ada alternatifnya," kata dia. Sebenarnya, ahli farmasi sejak awal bisa menghindari bahan yang tak halal. "Tapi new chemical entity yang ada bukan buatan Indonesia." Sehingga, pemerintah tak bisa mengontrolnya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menolak adanya sertifikasi halal produk farmasi pada Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin mengandung babi. "Kemenkes menolak sertifikasi halal itu untuk vaksin dan obat-obatan," ujar Nafsiah, Selasa lalu.
Ia mencontohkan pada vaksin. Bahan vaksin memang tidak mengandung babi. Namun, katalisatornya mengandung unsur babi. "Jika dinilai kehalalannya, tentu ini tidak halal," ujar dia. Saat sertifikasi halal itu diterapkan pada obat, ia khawatir vaksin tak boleh diberikan pada tubuh dalam keadaan terdesak. Padahal, tujuan utamanya adalah menyelamatkan nyawa manusia.
MUHAMMAD MUHYIDDIN
0 komentar:
Posting Komentar