Slankers asal Cirebon beristirahat di trotoar jalan Stadion Kridosono Yogyakarta menanti konser Slank yang digelar di stadion ini (2/11). TEMPO/Anang Zakaria
Jakarta - Bukan hanya sekadar penggemar, Slankers (Baca: Ini Rahasia Kompaknya Slankers) juga dilibatkan dalam penciptaan karya Slank bahkan terkadang menjadi insfirasi.
Sebuah film dokumenter ala Slank (Baca: Kotak jadi Band Pembuka Konser 30 Tahun Slank) yang berjudul Metamorfoblus menjadi bukti nyata. Film ini mengambil sudut pandang dari kisah tiga orang Slankers dari tiga kota yang berbeda.
Film dokumenter berdurasi 90 menit ini diawali dengan kisah Joker Supriadi, seorang Slankers yang juga berprofesi sebagai polisi di Kepulauan Batam. Sebagai penyuka berat Slank, Joker termasuk fanatik. Ini bisa dilihat dari koleksi album dan pernak-pernik Slank yang memenuhi tempat tinggalnya.
Joker yang sehari-hari akrab dengan senjata api, lengkap dengan perawakan yang sangar, nyatanya masih bisa terlarut sambil menitikkan air mata saat Slank menyanyikan lagu Ku Tak Bisa dalam sebuah konser di Batam.
Bukan hanya kisah Joker di Batam saja yang diangkat dalam film Metamorfoblus. Selanjutnya ada kisah Adi, Slankers dari Yogyakarta yang berhasil sembuh dari kecanduan narkoba begitu menerima surat spesial berupa motivasi dan pencerahan dari Bimbim dan Bunda Iffet.
Metamorfoblus juga tak luput mengangkat kisah Maksimus, Yepo, Roberto cs dari Kupang yang bersusah payah mengurus passport untuk sekadar menonton konser Slank di Dili, Timor Leste. Sejumlah konflik batin tak ketinggalan disajikan dalam kemasa dokumenter anak-anak Slankers dari Nusa Tenggara tersebut.
Tak ayal Bimbim dan kawan-kawan tidak menyangkal kalau Slankers merupakan bagian terpenting Slank.
"Mereka itu bagian dari kami, tidak salah jika kami melibatkan mereka dalam berkarya," kata Bimbim kepada Tempo saat menyambangi markasnya di Potlot, Kamis 21 November lalu. "Bahkan untuk pemilihan judul album, kami tetap mendengarkan pendapat mereka."
0 komentar:
Posting Komentar